Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

GELANG PERSAHABATAN

GELANG PERSAHABATAN

Source : komentarmu.com


Putri memakai sepatunya dengan malas. Kalau bisa, selama seminggu ini ia bolos sekolah saja. Namun, Bunda pasti akan marah. Ulangan tengah semester telah selesai. Minggu ini, di sekolah sedang beriangsung pekan olahraga.

“Sudah siang, Putri. Ayo lekas, nanti terlambat,”tegur Bunda.

“Enggak belajar kok, Bunda. Lagi pekan olahraga.”

“O iya, kamu ikut olahraga apa, Putri?”tanya Bunda.

“Aku dimasukkan ke tim lari estafet oleh Pak Guru. Satu tim dengan Tikah,”suara Putri terdengar pelan.

“Bagus, dong! Lari kalian, kan, memang cepat. Tapi, kenapa kamu seperti tidak semangat? Ada apa?” Bunda menyelidik,

 Putri menunduk. Menggeleng

. “Putri?” Bunda tidak suka dengan gelengan kepala Putri.

“Putri tidak mau satu tim dengan Tikah,”ucap Putri.

“Putri mau satu tim dengan Sabil saja.Tapi, Pak guru bilang tidak bisa ditukar.

” “Bukankah seharusnya kamu senang. Kalian, kan, bersahabat.

” Tidak lagi, jawab Putri dalam hati.

 Merekabertengkar gara-gara Putri tidak mau memberikan contekan Matematika saat ujian tengah semester kemarin. Sampai hari ini mereka belum bicara dan bercanda lagi. Kalau berpapasan di koridor sekolah, Putri dan Tikah pura-pura tidak melihat. Di dalam kelas pun mereka seperti tidak saling mengenal.

Putri tidak mau minta maaf duluan. Seperti kejadian waktu buku PR Tikah tersiram air. Doni yang menumpahkan langsung melarikan diri. Karena memang hanya Putri yang duduk di sana, Tikah langsung menyalahkannya. Sementara ia tidak sempat membela diri.

 Sebagai tanda permintaan maaf, Putri membuat gelang yang ia buat sendiri. Warnanya biru. Satu untuknya dan satu untuk Tikah. Waktu memakai gelang itu, mereka berjanji untuk tidak musuhan lagi. Putri melirik pergelangan tangannya. Gelang biru tanda persahabatan itu sudah ia lepas dari kemarin. Putri juga melihat Tikah tidak memakainya lagi. Mereka benar-benar tidak lagi sahabatan sekarang.

“Ayo Bunda, berangkat,” ujar Putri selesai memakai sepatu. la tidak ingin Bunda bertanya ada apa dengannya dan Tikah.

Lina memanggil Putri untuk mendekat karena nama mereka sudah dipanggil untuk masuk ke lapangan. Lomba lari estafet putri akan segera dimulai. Dengan malas, Putri mendekat juga.

“Yang semangat, dong!”tepuk Ratih di pundak Putri.Tadi Ratih sedang mengobrol dengan Tikah yang langsung membuang pandangnya ke pinggir lapangan, setelah Putri mendekat.

Putri menguatkan diri. Perasaan kesal dan sebal pada Tikah masih ada di hatinya, karena Tikah marah-marah tidak diberi contekan.

Demi pertandingan lari estafet ini, aku akan berjuang, ucap Putri dalam hati. Untungnya, Putri menjadi pelari yang pertama membawa tongkat. Dilanjutkan oleh Tikah, pelari yang menerima tongkat terakhir. Maka, Putri tidak perlu menatap dan bersentuhan tangan dengan Tikah.

Ternyata, tim Putri kalah oleh tim Sabil. Tikah marah-marah dan menyalahkan Putri atas kekalahan itu.

 “Seharusnya Putri tidak satu tim dengan kita. Larinya lambatsekali tadi. Semua gara , gara dia,” Tikah mengomel.

 Putri ingin menangis tadi. Selalu saja, tikah menyalahkan dirinya. Untunglah teman yang lain tidak ikutan menyalahkannya. Lari tim mereka memang kalah cepat dari teman-teman di tim Sabil.

“Bunda baru tahu kalau kamu bertengkar sama Tikah,”Bunda meletakkan secangkir cokelat panas di meja belajar.

 Putri berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Kepalanya masih terasa pusing. Hari ini Putri tidak sekolah. Tadi pagi dia sudah mau berangkat ke sekolah, tetapi ketika Putri berpamitan, Bunda merasakan tangan Putri panas sekali dan melarang Putri pergi ke sekolah

. “Bunda tahu dari mana? Ada yang ngadu ke Bunda, ya?”

 “Enggak baik bertengkar lama-lama. Selama ini, kan, kalian memang sering bertengkar, tapi tidak lama sudah baikan lagi.”

 Putri melengos tak suka mendengar ucapan Bunda. Mereka memang selalu berbaikan. Namun, selama ini Putri yang selalu mengalah dan meminta maaf duluan.

 “Mengalah, tidak apa-apa, kok,” bujuk Bunda seperti tahu apa yangPutri pikirkan.

“Tikah mau menang sendiri Bunda. Putri capek ngalah terus-terusan.”

Bunda tersenyum.

“Mengalah bukan berarti kalah,” Bunda membantu Putri untuk duduk dan meminum cokelatnya.

“Itu malah menandakan, kalau kamu anak Bunda yang punya jiwa besar,” Bunda menekan hidung Putri.

“Lagi pula, kamu adalah anak Bunda yang paling baik.” Putri menunduk.

 “Nah, sekarang, Bunda suruh Tikah masuk ke kamarmu, ya?”

“Tikah datang ke sini, Bunda?” tanya Putri tidak percaya mendengarnya.

 “Iya. Dia mau minta maaf, katanya.Tikah datang membawa puding, lo. Nanti Bunda iris dan bawa ke kamar, ya. Biar bisa kalian makan berdua.” Bunda tersenyum.

 Saat itu, Putri melihat gelang tanda persahabatan yang pernah dibuatnya. Ah, meski tanpa gelang persahabatan itu, mereka akan tetap menjadi sahabat.

Posting Komentar untuk "GELANG PERSAHABATAN"